MAKALAH ANALISA SILA PERTAMA PANCASILA
Cledwyn Davian I. 511610001
Evan Christianto 511610004
Indra Christianto 511610005
Michael Condro W 511610007
Nandha Elang 511610012
BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan.
Pancasila sebagai dasar Negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos(kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi penting untuk diterapkan. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku.
Sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa , yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selain-Nya adalah terbatas.
Oleh karena itu, di dalam bangsa Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita seharusnya menghindari sikap atau perbuatan yang anti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Untuk itulah sebagai generasi penerus bangsa, kita wajib mengkaji, memahami, dan menerapkan sila pertama Pancasila. Diharapkan melalui pembahasan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, akan terwujud generasi-generasi penerus bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan berbudi luhur.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Sejarah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran tokoh proklamator yang tidak lain adalah Bung Karno.
Mungkin banyak di antara kita yang tidak mengetahui apa dasar pemikiran Bung Karno pada waktu mencetuskan ide dasar negara hingga tercetuslah ide Pancasila. Dasar pemikiran Bung Karno dalam mencetuskan istilah Pancasila sebagai Dasar Negara adalah mengadopsi istilah praktek-praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme. Dalam ajaran Buddhisme terdapat praktek-praktek moral yang disebut dengan Panca Sila (bahasa Sanskerta / Pali) yang berarti lima (5) kemoralan yaitu : bertekad menghindari pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari berkata dusta, bertekad menghindari perbuatan mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah, dan bertekad untuk tidak minum minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan menghilangkan kesadaran.
Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini. Baik dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan Yang Satu. Lalu apa makna sebenarnya ? Mari kita bahas satu persatu kata dari kalimat dari sila pertama ini.
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran –an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran –an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran -an dapat memberi perubahan makna menjadi antara lain : mengalami hal…., sifat-sifat …. Contoh kalimat : ia sedang kepanasan. Kata panas diberi imbuhan ke- dan –an maka menjadi kata kepanasan yang bermakna mengalami hal yang panas. Begitu juga dengan kata ketuhanan yang berasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan –an yang bermakna sifat-sifat Tuhan. Dengan kata lain Ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan.
Kata “maha” berasal dari bahasa Sanskerta / Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata “maha” bukan berarti “sangat”. Jadi adalah salah jika penggunaan kata “maha” dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang berarti sangat besar.
Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this – Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sanksertamaupun bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka”, bukan kata “esa”.
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur / mulia, bukan Tuhannya.
Dan apakah sifat-sifat luhur / mulia (sifat-sifat Tuhan) itu ? Sifat-sifat luhur / mulia itu antara lain : cinta kasih, kasih sayang, jujur, rela berkorban, rendah hati, memaafkan, dan sebagainya.
Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari Pancasila NKRI ternyata begitu dalam dan bermakna luas , tidak membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama yang percaya pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya pada banyak Tuhan, karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah sifat-sifat luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka diri bagi keberadaan agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun tidak mempercayai adanya satu Tuhan.
B.Nilai Instrumental dari Sila Pertama
· Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
· Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
· Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
· Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
· Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
· Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing
· Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
C. Pemahaman Mengenai Implementasi Sila Pertama
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
a) Secara Obyektif
• Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
• Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup
• Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
b) Secara Subjektif
• menghormati yang sedang melaksanakan ibadah
• mengajak kita untuk takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kita semua punya agama dan keyakinan. Kita tinggal menjalankan kewajiban kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
• Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
• Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup
Kunci dan titik sentral pemikiran dari kelima sila ada pada sila pertama, yaitu “Ke-Tuhanan”, karena Tuhan adalah dasar keberadaan bagi makluk pemberian kekuatan oleh oleh-Nya, merupakan syarat bagi setiap gerakan, upaya, dan perubahan pada mahluk-Nya. Semua agama di NKRI ini, meyakini keberadaan Tuhan. Tuhan Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam kehidupan ini, adalah ciptaan dan atas kehendak Tuhan. Kaum Kristiani menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga kebersihannya dan dijauhkan dari halhal yang bertentangan dengan agama. Sedang kaum Islam, sesuai dengan Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa “Allah ada sangat dekat dengan dirimu, tidak lebih dari kedua urat nadi lehermu”. Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari suatu kesepakatan untuk menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai Sila Pertama, yang menjiwai semua sila-sila dibawahnya.
D. Fungsi Sila Pertama
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara Republik Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui eksistensinya di Indonesia, negara Indonesia memberikan hak dan kebebasan setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.” .
BAB III
ANALISA KRITIS
A.Masih Adanya Rakyat Indonesia yang Tinggal Dipedalaman Hutan di Indonesia yang Belum Mengenal Istilah Ketuhanan
Luasnya wilayah Indonesia danmasih banyaknya hutan-hutan lebat di pedalaman pulau yang dijadikan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat primitive di sana.
Oleh karena tempatnya yang sangat jauh dai keramaian dankehidupan yang mengikuti perkembangan zaman, penyampaian informasi, dan jangkauan transportasi membuat masyarakat disana hidup dengan cara-cara yang tradisional.
Mereka hidup layaknya manusia yang belum mengenal tulisan, mereka belum mengenal kepercayaan apa lagi mengetahui adanya perbedaan kebudayaan dan perbedaan kepercayaan dengan kelompok masayarakat lain, karena mereka tidak dapat menjangkau tempat yang jauh. Penyampaian informasi melalui media cetak apalagi media elektronik tentunya tidak akan bias di temui di pedalaman hutan sperti itu. Jangan kan peralatan eletronik atau media cetak yangdapat membantu pendidikan kewarganegaraan disana, mereka saja belum mengenal listrik bahkan tulisan, peralatan rumah tangga yang mereka gunakan masih sangat bersifat tradisional.
Karena mereka belum mngenal tulisan, maka itu pendidikan formal seperti sekolah atau pendidikan informal tidak ada disana. Bahasa yang mereka gunakan juga hanya dapat dipahami oleh mereka yangmerupakan penduduk asli saja, pasti butuh waktu, usaha, tenaga dan financial yang cukup untuk membuat mereka mengerti akan pentingnya memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang akan membuat hidup terasa damai dan penuh cinta kasih.
Karena factor-faktor diataslah pemerintah belum mampu mengadakan sosialiasasi terhadap pendidikan kewarganegaraan disana, membuat mereka tidak dapat menjadi warga Indonesia yang Pancasilais dan Berketuhanan Yang Maha Esa.
B. Masih adanya Kepercayaan di Beberapa Daerah Terpencil yang Melanggar Hak Orang Lain.
Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipercayai bangsa Indonesia adalah percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya msig masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi merupakan masalah apabila ritual keagamaan yang dilakukan penganut itu melanggar dasar kemanusiaan.
Sebagai contoh, terdapat suatu kepercayaan di suatu daerah di Indonesia yang apabila seorang suami meninggal dunia, maka istrinya harus turut mati karena itu.Hal itu berartti kepercayaan yang mereka anut melanggar dasar kemanusiaan dan melanggar ketentuan pancasila sebagai mana telah diakui oleh bangsa Indonesia, hal itu terjadi karena mereka belummengenal hak azasi manusia yang harus dilindungi, selain itu mereka juga belum mengerti apa itu HAM (HAk Azasi MAnusia ).
Mereka melaksanakan ritual agama karena diturunkan oleh leluhur mereka pada zaman dahuludan mereka percaya akan ada sanksi pedih dari Tuhan yang mereka ercayai apabila mereka tidak melaksanakannya, tanpa mereka tahu bahwa mereka telah merampas hak orang lain demi ritual keagamaan turun temurun itu, mereka tidak mengetahui pengetahuan tentang kenegaraan, pancasila dan ilmu kewargaan lainnya yang mestinya harus diamalkan warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
C. Masih Adanya Sebagian Penganut Agama yang Tidak Meghormati Penganut Kepercayaan Orang Lain
Sudah seharusnya kita sebagai warga Negara Indonesia asli mengerti betul, bahwa Indonesia, tanah air kita ini, kental akan perbedaan di masyarakat , baik itu perbedaan warna kulit, bahasa daerah kebudayaan dan agama
Apabila masyarakat kurang menyadari atau menikmati indahnya perbedaan, pastilah akan selalu ada benci dalam hati kepada perbedaan itu, apalagi perbedaaan agama, dan tidak jarang terjadi adanya saling mencibir atau mengejek penganut agama lain yang sedang melaksanakan ibadahnya.
Selain karena kurang menyadari indahnya perbedaan, terlalu perduli dengan urusan agama orang lain, juga salah satu penyebab mengapa masih ada lagi warga Negara Indonesia yang saling membenci, walaupun tidak mengadakn perang secara terbuka.
Adanya perusakan-perusakan rumah ibadah juga masih sering terjadi akibat wujud dari tidak mengertinya orang orang itu akan indahnya perbedaan yang seharusnya dapat saling melengkapi dan menjadikan Indonesia bangsa yang besar dan sangat bermoral dimata dunia karena penduduknya mampu sling mencitai meski saling berbeda.
D. Dominansi agama mayoritas di Indonesia
Di Sekolah dasar telah masing-masing dipelajari bahwa ada 5 agama besar yang telah diakui pemerintah sebagai agama yang terdapat di Indonesia. Yaitu Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha. Tapi penyebaran penganutnya tentu tidaklah sama maka terdapat agama yang menjadi mayoritas dan penganut agama minoritas.
Mungkin sebagian dari kita merasakan bahwa kelompok mayoritas atau agama yang memiliki penganut lebih banyak dibanding dengan agama lainnya terkadang merasa lebih dibanding agama lain yang memiliki penganut yang lebih kecil . Tentu saja agama yang memiliki penganut lebih sedikit dibanding agama yang lain merasa terkucilkan . terkadang dapat dirasakan juga agama mayoritas lebih menguasai pemerintahandi Indonesia, ini sehausnya tidak terjadi karena ada persamaan hak azasi manusia bagi masing masing penganut agama walaupun ada yang menjadi penganut agama minoritas.
Hal ini tentu menjadi masalah karena pemerintah di Indonesia memperlakukan kepada semua agama adalah sama. Bahwa pemerintah dalam hal ini Departemen agama disamping memberikan pelayanan yang memadai terhadap semua pemeluk agama,agar mereka memperoleh kesempatan dan kemampua melaksanakan serta mengembangkan agamanya maisng-masing sehingga umat beragaa merasa aman dan bebas dalam menikmati kehidupan beragama ssuai dengan keyakinannya.
BAB IV
REFLEKSI
A.Rasa Toleransi Antar Umat Beragama
Sebagai bangsa majemuk,kita seharusnya sudah terbiasa dengan perbedaan. Hal ini yang masih kurang bisa dipahami oleh beberapa umat yang berpikiran sempit. Karena adanya perbedaan tersebutlah,justru menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.Sudah layak dan sepatutnya kita harus memiliki sikap tenggang rasa antar agama.
B.Bersyukur Kepada Tuhan atas RahmatNya
Sebagai bangsa yang religius,apapun agama kita atau apapun kepercayaan kita,kita wajib bersyukur kepada pencipta kita atas anugerahNya yang telah memberikan kita suatu bangsa yang besar.Hanya karena Tuhan lah bangsa kita bisa berada sampai saat ini.
C.Mematuhi Segala Peraturan Agama Masing-masing
Agama diciptakan untuk mengatur semua manusia ini tetap pada jalur yang benar sebagai manusia.Tidak ada agama yang mengajarkan sesuatu yang buruk terhadap umatnya.Maka dari itu sesuatu yang baik harus selalu kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
BAB V
KESIMPULAN
· Pancasila merupakan sistem filsafat yang sekiranya dapat menjembatani segala keanekaragaman bangsa Indonesia yang sebenarnya sudah berurat-berakar dalam hati sanubari, adat-istiadat, dan kebudayaan Nusantara, bahkan jauh sejak masa Nusantara kuno.
· Kebebasan memeluk agama adalah salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, sebab kebebasan agama itu langsung bersumberkan kepada martabat manusia sebagai mahluk Tuhan.
· Dari butir-butir yang telah disebutkan di atas, telah di sebutkan bahwa dalam kehidupan beragama itu tidak diperbolehkan adanya suatu paksaan.
· Agar tidak terjadi pertentangan antara pemeluk agama yang berbeda, maka hendaknya dikembangkan sikap toleransi beragama, saling tolong menolong, dan tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Dharmodiharjo, Darji. 1985. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Malang : IKIP Malang.
Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta : Medi Pressindo.
Sunoto. 1984. Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya. Yogyakarta : PT. Hanimdita.
Wiyono, suko. 2011. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang : Wisnu Wardhana Press Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar