PENGHAYATAN SILA PERTAMA PANCASILA DALAM REALITAS YANG TERJADI DI KOMUNITAS GUBUK TULIS



MAKALAH
PENGHAYATAN SILA PERTAMA PANCASILA
DALAM REALITAS YANG TERJADI DI KOMUNITAS
GUBUK TULIS






DISUSUN OLEH:
ELISABETH ATIKA IRWAN                      511610002
ELISYIA KURNIAWATI SISWANTO       511610003
IVANA GUNAWAN                                    511610005
MICHELE ELIONA SENA                          511610008
TIFFANY MEYRISTA DIANDRA              511610010
VIA PERTINA KUSWANTO                       511610011



UNIVERSITAS MA CHUNG
2017





BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari kemajemukan baik dalam suku, budaya, adat-istiadat, serta bahasa. Kesemua hal ini tentunya perlu dirangkul menjadi satu kesatuan yang kukuh dan tidak tergoncangkan. Wadah pemersatu dari kemajemukan ini adalah Pancasila.
Pancasila merupakan Dasar Negara dari Bangsa Indonesia. Selain menjadi Dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa. Ini artinya, Pancasila adalah arah atau kiblat bagaimana dan arah mana bangsa ini akan bertindak atau berlangsung. Apabila Pancasila diubah, maka kelak negara ini akan hancur karena Pancasila merupakan pondasi dari Negara Indonesia.
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta dimana “panca” berarti lima dan “sila” berarti prinsip atau dasar yang jika digabungkan bermakna lima prinsip atau lima dasar. Kelima sila dalam Pancasila ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Setiap sila dari Pancasila membentuk suatu kesatuan, bukan sebagai unsur komplementer (pelengkap). Meskipun sila pertama berkaitan dengan Tuhan sebagai kausa prima, hal ini tidak berarti bahwa sila yang lain merupakan sila yang hadir hanya sebagai pelengkap.
Sila pertama Pancasila pada perumusan awal adalah Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat-Syariat Islam Bagi Pemeluknya. Isi sila pertama ini kemudian diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan pertimbangan kemajemukan yang ada di Indonesia. Indonesia bukan melulu soal agama Islam, tetapi banyak agama yang sudah diakui di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Sila pertama Pancasila mengandung kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selaku pencipta semesta dan segala isinya. Pengamalan dari sila pertama dapat kita lihat dalam: (a) Pembukaan UUD 1945 yang merupakan dasar dari segala sumber hukum. Pada alinea II tertulis “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa..”. Dari kutipan pembukaan UUD 1945 ini dapat dilihat bahwa Bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai Ketuhanan. (b) Batang tubuh UUD 1945 pada pasal 29 UUD 1945 baik ayat 1 dan 2.


BAB II
REVIEW DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia
            Pancasila merupakan Dasar Negara dari Bangsa Indonesia. Selain menjadi Dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa. Ini artinya, Pancasila adalah arah atau kiblat bagaimana dan arah mana bangsa ini akan bertindak atau berlangsung. Apabila Pancasila diubah, maka kelak Negara ini akan hancur karena Pancasila merupakan pondasi dari Negara Indonesia.  Pancasila ialah sebagai dasar negara sering juga disebut dengan dasar falsafah negara (dasar filsafat negara atau philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam hal tersebut Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan negara. Dengan kata lain ialah, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur seluruh penyelenggaraan negara. Pengertian Pancasila ialah sebagai dasar negara seperti dimaksud dalam bunyi Pembukaan UUD 1945 Alinea IV(4) yang secara jelas menyatakan, ialah kurang lebih sebagai berikut:
“Kemudian dari pada itu untuk dapat membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang suatu Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil serta beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta untuk mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Norma hukum pokok serta disebut pokok kaidah fundamental daripada suatu negara itu dalam hukum mempunyai hakikat serta kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk. Dengan kata lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Fungsi serta kedudukan Pancasila sebagai pokok kaidah yang fundamental. Hal tersebut penting sekali dikarenakan UUD harus bersumber serta berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental itu.
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta dimana “panca” berarti lima dan“sila berarti prinsip atau dasar yang jika digabungkan bermakna lima prinsip atau lima dasar. Kelima sila dalam Pancasila ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Setiap sila dari Pancasila membentuk suatu kesatuan, bukan sebagai unsur komplementer (pelengkap). Meskipun sila pertama berkaitan dengan Tuhan sebagai kausa prima, hal ini tidak berarti bahwa sila yang lain merupakan sila yang hadir hanya sebagai pelengkap.

 2.2 Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandung kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selaku pencipta semesta dan segala isinya. Namun banyak petanyaan mengenai bagaimana sila pertama tersebut dihadapkan pada Negara Indonesia sebagai Negara beragama dan bagaimana menjelaskan tentang konsep Ketuhanan dan konsep Keesaan yang terkandung di dalamnya. Sekurang-kurangnya terdapat lima agama di Indonesia. Ketuhanan yang dimaksudkan dalam sila pertama ini, bukanlah Tuhan dari satu agama tertentu. Tetapi sila ini merupakan kristalisasi dari masyarakat Indonesia yang beragam, sehingga Ketuhanan yang dimaksudkan adalah Tuhan yang diimani menurut setiap keprcayaan dan setiap agama. Hal demikian pun terjadi pada konsep keesaan yakni keesaan yang dimaksudkan adalah setiap agama mengimani Tuhannya masing-masing menurut ajaran dari iman yang dipercayainya,
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima daripada negara ini ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.
Begitulah bunyi pidato Sukarno ketika menyampaikan prinsip terakhir dari lima dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Prinsip kelima itu kini menjadi sila pertama Pancasila. Empat prinsip lainnya yang dikemukakan Sukarno adalah kebangsaan, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial. Bagi Sukarno, urut-urutan kelima prinsip itu bukanlah urutan prioritas, namun sequential, berdasar urutan logika. Kesemua prinsip itu pada dasarnya telah dikemukakan, baik secara keseluruhan ataupun terpisah-pisah, oleh para anggota BPUPKI sejak hari pertama sidang, 29 Mei 1945. Muhammad Yamin mengusulkan peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Namun di samping itu, Yamin juga berbicara soal pembelaan negara, budi pekerti, susunan negara, bahkan hak tanah. Sementara Soepomo menyampaikan perihal persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan rakyat. Pentingnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial juga dikemukakan oleh anggota sidang lainnya seperti, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agus Salim, Muhammad Hatta, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Woerjaningrat, Radjiman Wediodiningrat, hingga Liem Koen Hian.
Meski demikian, prinsip-prinsip yang diajukan semula masih serabutan. Kategorisasi prinsip-prinsip yang diajukan pun masih simpang siur dengan konsep “asas”, “paham”, atau “aliran pikiran”. Setelah Sukarno menyampaikan pidatonya pada 1 Juni dengan begitu heroik, simpatik, dan empatik, pembahasan philosofische grondslag atau dasar falsafah menemukan titik terang. Pada tanggal itulah nama Pancasila lahir dengan kelima prinsip yang dikemukakan Sukarno. Ketuhanan menjadi prinsip yang diusulkan oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragam, khususnya golongan agama.
Namun sila ketuhanan ini mengandung sejarah perdebatan yang cukup panjang.  Golongan Islam tentu saja menawarkan konsep ketuhanan yang lebih konkret dan spesifik, yakni ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Lalu dari mana asal konsep ketuhanan yang dikemukakan Sukarno?
Berdasarkan sejarah, terdapat cerita bahwa konsep ketuhanan yang dikemukakan oleh Sukarno terinspirasi dari pergaulannya dengan banyak ulama. Sukarno, sejak muda dekat dengan Sarekat Islam dan para ulama di dalamnya. Hingga ketika ia dibuang ke Ende, Flores, pun, Sukarno tetap rajin berkorespondensi dengan ulama, salah satunya pendiri Persatuan Islam (Persis) Ahmad Hassan. Ketika berada di Padang, Sumatera Barat, pada Februari 1942 hingga Juli 1942, Sukarno juga banyak bergaul dengan ulama besar di sana. Ia pernah berkunjung ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan oleh Syekh Abbas Abdullan Padang Japang. Syekh Abbas bukan sekadar ulama, tapi juga Panglima Jihad Sumatera Tengah. Selain mendirikan sekolah madrasah, Syekh Abbas memiliki pasukan jihad sebagai basis perjuangan melawan Belanda. Suatu hari, sekitar pukul satu siang, Sukarno sempat datang mengunjungi Syeikh Abbas. Meski saat itu masih masa-masa transisi dari era Belanda ke Jepang, Sukarno ingin membicarakan perihal dasar negara. Ketika Sukarno bertanya perihal apa yang terbaik jika kelak bangsa Indonesia ini merdeka, ulama yang kala itu berusia 59 tahun itu menjawab, “Negara yang akan didirikan kelak haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Bagi Syeikh Abbas, jika hal tersebut diabaikan, maka revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Percakapan itu cukup singkat, dan Sukarno pulang sore harinya. Namun kunjungan Sukarno itu menjadi ingatan kolektif masyarakat Padang Japang. Perisitwa itu tercatat dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat yang diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatera Barat pada 1981.
Nilai ketuhanan dalam lintasan sejarah Nusantara memang berkembang sejalan dengan nasionalisme yang juga semakin tumbuh.  Meski terjadi perdebatan terkait 7 kata --dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya-- yang diusulkan untuk dilekatkan pada prinsip Ketuhanan, namun akhirnya terpilihlah redaksional “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Konsensus itu, tentu saja, lahir demi menjaga persatuan bangsa. Secara psikologis bahasa itu sangat mempengaruhi dan menentukan agar semua orang dari suku, etnis, golongan, aliran kepercayaan maupun agama dapat merasa menjadi Indonesia yang seutuhnya. Seutuhnya dari jiwa dan raga dalam pluralisme, Bhineka Tunggal Ika.

2.3 Asal Mula Bhinneka Tunggal Ika
Merujuk kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979, disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno, setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950. Istilah "ciptaan Sukarno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di atas dirasa kurang tepat, karena dengan pernyataan itu memberikan pengertian, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno. Pernyataan ini juga akan bertentangan dengan pidato Presiden Sukarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika – berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan isi pidato Presiden Sukarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu Tantular. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa latin: e pluribus unum ("Dari banyak menjadi satu").
Semboyan itu menjadi bagian dari lambang negara adalah merupakan kesepakatan antara Sultan Hamid II dengan Mohammad Hatta, Sukarno yaitu atas usul Presiden Sukarno untuk mengganti pita yang dicengkram Garuda, yang semula direncanakan berwarna merah putih kemudian diganti menjadi warna putih dan Presiden Soekarno mengusulkan supaya di atas pita warna putih tersebut dimasukan seloka Bhinneka Tunggal Ika. Sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna dasar perisai Pancasila.  Dengan demikian yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta dengan pernyataan bahwa "Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno". Dalam buku Bung Hatta Menjawab tahun 1978 itu maksudnya semboyan itu adalah usulan Presiden Sukarno.
Arti Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda itu tetapi satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin:
“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini falsafah awalnya berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam kerajaan Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud itu seloka itu disusun oleh Empu Tantular dengan tujuan untuk menyatukan segala aliran dengan mengemukakan persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”
Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh Prof. H. Kern pada tahun 1888 Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar Purusadacanta atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan diperpustakaan Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali oleh Muhammad Yamin. Kemudian semboyan itu menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lambang negara sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979 menyatakan, bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra-putri bangsa dan semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini menegaskan pula, betapa pentingnya dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ika itu. Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna tersirat dan tersurat, bahwa bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajukan itu bukanlah ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan bangsa. 
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang Merah Putih, beliau menyatakan: 
Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah Indonesia sesudah abad ke-XIV sampai kini, maka kagumlah kita kepada pertjikan otak ahli pemikir Empu Tantular, seperti dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang dikarangnya dalam jaman kentiana keperabuan Majapahit pada pertengahan abad ke-XIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.  
Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal kalimat Bhineka Tunggal Ika, dan tanhana dharma mangrwa. Artinya seluruh kalimat seloka Tantular itu: berbedalah itu, tetapi satulah itu; dan di dalam peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme.  Seloka itu dapat menyatukan segala aliran dengan mengemukakan persamaan, dengan pengertian bahwa diantara berbagai fikiran, perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada jugalah persamaan yang menyatukan. Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya, yaitu Bhineka Tunggal Ika berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu. “Dan dalam perbedaan pikiran dan pendapat ada persamaan yang dapat mengikat dalam pokok kesatuan.
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula dengan aliran politik dan aliran kebudayaan”.
 Itu ditegaskan oleh Empu Tantular. “Janganlah segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan diadakan diskriminasi dan dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan segala aliran.”
Begitu pulalah ajaran Panca Sila yang mengandung maksud untuk memberi dasar bagi perjuangan negara Indonesia yang dilahirkan atas persatuan dan kemerdekaan yang berdaulat. Dan sudah ternyata Panca Sila dapat mempersatukan Bangsa Indonesia sejak hari Proklamasi sampai waktu kini. Jadi seperti filsafah Tantular, maka ajaran Panca Sila ialah sistem filsafah yang mengandung daya pengikat atau alat pemersatu dalamnya untuk memperkuat persatuan Bangsa, yang menjadi sarat mutlak bagi kemerdekaan. Hal itu dapat difahamkan. Ajaran Panca Sila sebagai alat mempersatu tidaklah saja menjadi faktor azasi dalam memperkuat kemerdekaan yang bersemangat, tetapi juga sangatlah penting bagi pelaksanaan pembinaan Bangsa Indonesia yang telah berdiri sejak tahun 1928 dan menjadi Nation Indonesia sejak tahun Proklamasi 1945. Jadi tegaslah, bahwa ajaran Panca Sila itu benar-benar suatu sistem falsafah untuk mempersatukan berbagai aliran, dan diatasnya dibentuk Negara Indonesia yang meliputi daerah Indonesia yang menjadi dukungan Bangsa Indonesia yang bersatu. Keterangan Muhammad Yamin di atas semakin membuktikan, bahwa seloka Bhinneka Tunggal Ika yang menurut keterangan Presiden Sukarno adalah masukan dari seorang ahli bahasa, maka bisa dipastikan yang dimaksudkan adalah Muhammad Yamin, hal inipun dikuatkan ketika terminologi Pancasila dinyatakan oleh Presiden Sukarno, juga atas usulan ahli bahasa, "Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila, Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi", maka yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan teman kita seorang ahli bahasa itu tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Berdasarkan transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa masuknya seloka Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang Rajawali Garuda Pancasila adalah sebuah sinergisitas atau perpaduan terhadap pandangan kenegaraan ketika itu, yaitu antara paham federalis (kebhinnekaan) dengan paham kesatuan/Unitaris (Tunggal), sebagaimana kita ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh berpandangan federalisme yang mengutamakan prinsip keragaman dalam persatuan, sedangkan Soekarno adalah tokoh berpandangan unitaris yang mengutamakan prinsip persatuan dalam keragaman, hal ini memberikan makna secara semiotika hukum, bahwa pembacaan Bhinneka Tunggal Ika yang tepat seharusnya adalah keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, karena kata Bhinneka artinya keragaman, sedangkan Tunggal artinya satu, dan Ika artinya itu, maknanya yang beragam-ragam satu itu dan yang satu itu beragam-ragam, apakah yang satu itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukankah sebuah paham multikulturisme modern dan itulah jati diri bangsa Indonesia serta salah satu pilar kebangsaan Indonesia yang bernama Bhinneka Tunggal Ika. Menelusuri sejarah terbentuknya RIS 1949 dalam kaitannya dengan lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS, pada tanggal 11 Februari 1950 memberikan penegasan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan frase jati diri kebangsaan Indonesia yang tepat untuk menyatukan dua paham kenegaraan ketika itu.
Dengan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika seharusnya masyarakat Indonesia bisa bersatu dan menghambat semua konflik yang didasari atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun apa yang terjadi saat ini, makna Bhineka Tunggal Ika seakan-akan tak pernah ada dan tak berarti lagi.  Adanya perbedaan, seperti perbedaan status, ras, agama maupun golongan serta paham membuat anti persatuan, pertengkaran, yang menjadikan kerusuhan di mana-mana. Padahal perbedaan adalah anugerah dimana kita bisa mengenal, mengisi satu sama lain. Serta mengakui perbedaan dan menghormatinya, ditambah dengan kuatnya niat untuk mempertahankan kesatuan, maka negeri ini akan damai. Tak akan ada kerusuhan dimana-mana. Menurut Brewer & Gaetner (2003) salah satu cara agar konsep Bhineka Tunggal Ika menjadi jiwa masyarakat Indonesia adalah dengan identitas social mutual differentiation model, yaitu suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu mempertahankan identitas asal. Namun secara kebersamaan ke semua kelompok tersebut juga memiliki tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.


BAB III
ANALISIS KRITIS

Seorang intelektual berkebangsaan Indonesia, Emha Ainun Nadjib, menyatakan sisi pandangnya antara kebangsaan dengan agama: serius ber-Pancasila dituduh Kafir, sungguh-sungguh beragama dituduh Makar. Sedangkan Albert Einstein pernah mengatakan bahwa agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa agama adalah lumpuh. Maka dapat dikatakan bahwa nilai kecintaan pada Pancasila, pada agama, serta pada ilmu pengetahuan haruslah seimbang. Setiap orang boleh cerdas dan taat beragama, tapi jangan lupa pada kewajiban untuk mencintai negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Salah satu sikap mencintai negeri adalah dengan melakukan nilai luhur yang ada di dalam Pancasila sebagai dasar negara kita, dasar kita bersikap sebagai warga negara yang baik. Contoh luhur yang dapat dilakukan agar sesuai dengan sila pertama Pancasila adalah dengan menghayati sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Arti dari sila ini adalah Tuhan memiliki sifat yang Esa atau satu, Tuhan adalah milik semua agama dan kita harus mentolerirnya. Kita sebagai makhluk Tuhan, harus dapat menciptakan tenggang rasa antar umat yang tidak seiman di samping kita memiliki kewajiban beragama masing-masing. Sikap menerima perbedaan memang tidak mudah dilakukan, oleh karenanya kita sebagai masyarakat harus terbiasa dan memiliki ilmu dan akal yang baik agar tidak terpecah belah. Dengan ilmu kita dapat menjadi lebih berakhlak dan menghargai perbedaan sebagai suatu kekayaan dan keberagaman, bukannya alasan untuk saling memecah belah bangsa. Salah satu cara agar menjadi lebih berilmu adalah dengan saling mengetahui ciri, sikap, dan nilai yang dijunjung tiap agama.
Selain ilmu beragama, seseorang hendaknya juga berteguh pada ilmu lainnya, misalnya pada ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu ini nantinya akan menjadi kekuatan agar bangsa menjadi lebih maju. Apalagi pada zaman yang modern ini kita hendaknya tidak hanya menerima ilmu saja, melainkan juga ikut berkontribusi dalam kegiatan penularan ilmu. Apalagi zaman sekarang ini sudah sangatlah mudah kita memberi sumbangsih ilmu terhadap masyarakat dengan berbagai teknologi yang ada. Misalnya dengan cara menuliskan ide-ide yang membangun dan mempererat tali persaudaraan sebagai satu bangsa meski beda keyakinan. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran sekelompok pemuda Gusdurian yang menamakan diri mereka “Gubuk Tulis”.
Komunitas ini sudah didirikan sejak tanggal 4 Februari 2016 dan sekarang telah berkembang menjadi salah satu komunitas berpengaruh bagi kota Malang, terutama di daerah Dinoyo. Mereka menamakan diri sebagai Gubuk Tulis sebab istilah “gubuk” bernotasi tempat perlindungan ketika seseorang tersesat dan “tulis” yang artinya kegiatan menyalurkan ide melalui tulisan. Artinya meski sekarang telah banyak orang yang tersesat dan terlena akan kecanggihan teknologi, pasti ada dari mereka yang dapat tersadarkan dan menjadikan diri mereka lebih berguna. Terutama kelompok anak muda yang sudah sangat bergantung dengan teknologi dapat ikut memberi kontribusi melalui tulisan di internet. Mereka berharap di era ini, seseorang tidak hanya menggunakan internet sebagai media hiburan, tetapi juga untuk menambah dan menyalurkan pikiran mereka.
Meski baru 1,5 tahun berdiri, komunitas ini telah memiliki banyak karya di bidang tulis-menulis, misalnya berbagai artikel yang diterbitkan di koran harian maupun di berbagai media virtual milik redaksi kompasiana. Komunitas yang kebanyakan terdiri dari kaum mahasiswa maupun aktivis kegitan sosial ini secara konsisten melakukan publikasi tulisan agar masyarakat dapat mengetahui berbagai isu aktual yang terjadi dengan gaya penulisan yang berbeda. Mereka tak akan berhenti mencoba menyalurkan ilmu dengan bahasa yang unik agar masyarakat dapat lebih tertarik membaca dan membangun budaya literasi.
            Selain aktif pada kegiatan tulis menulis, komunitas ini juga rutin melakukan diskusi di basecamp mereka yang terletak di jalan Joyoutomo V/F no 1. Tema yang diangkat sebagai topik diskusi antara lain adalah filsafat keagamaan dan isu gender. Filsafat keagamaan yang telah dan sering dibahas adalah filsafat Islam dan Katolik, sedangkan isu gendernya meliputi diskusi nikah siri dan keadilan gender. Peserta diskusi yang datang kebanyakan merupakan mahasiswa UB dan Universitas Muhammadiyah, bahkan ada pula beberapa dosen yang datang sebagai pemateri maupun sekadar ikut berdiskusi. Diskusi yang dilakukan juga banyak mendapat minat publik, terbukti pada tiap diskusi terdapat sekitar 40 hingga 80 orang yang datang.
Suasana diskusi dibuat makin nyaman dengan diadakannya basecamp yang dibuat menyatu dengan café yang dinamakan Café Oase. Tujuan dibentuknya café bukan untuk mencari keuntungan semata sebab harga yang dipatok tergolong tidak mahal, melainkan agar peserta diskusi dapat menikmati secangkir kopi sambil berbincang. Bahkan jika ada anggota diskusi yang sedang berhalangan untuk membayar, café ini mau memberi produknya secara gratis. Selain membahas filsafat dan gender, terkadang diadakan pula diskusi dengan bahasa Inggris yang dipimpin oleh Miss Charlotte. Diskusi dengan bahasa asing ini dilakukan agar masyarakat terutama peserta diskusi yang hadir dapat sedikit banyak berlatih mendengar dan menggunakan bahasa asing tersebut. Selain itu para pengurus dan anggota komunitas ini juga sering datang ke tempat perayaan agama lain. Hal ini dilakukan selain untuk mengenal secara langsung adat istiadat agama lain juga sebagai bahan tulisan artikel sehingga masyarakat luas dapat lebih memahami perayaan masing-masing agama yang baru dilaksanakan.
            Gubuk Tulis juga turut aktif membuka perpustakaan keliling, yaitu dengan cara membawa koleksi buku yang mereka miliki ke taman terdekat yaitu ke taman Mertojoyo. Koleksi buku yang mereka miliki bermacam, ada yang bacaan anak-anak, novel, hingga berbagai buku pelajaran sekolah. Semua buku yang mereka miliki berasal dari sumbangan sukarela dari para peserta diskusi, pembicara, wartawan, maupun berbagai lembaga sosial yang ada di kota Malang dan sekitarnya. Sekolah Tinggi Ilmu Buddha Batu telah sering memberikan berbagai buku bacaan mengenai filsafat untuk komunitas ini meski hingga sekarang belum pernah didiskusikan topik filsafat Buddha. Buku-buku yang didapat dari sumbangan berbagai pihak ini disusun pada rak yang berada di sebelah café sehingga siapapun, tidak hanya peserta diskusi, bahkan pelanggan café pun dapat ikut membaca dan menambah ilmunya.
Awalnya komunitas ini berharap agar taman yang telah dibangun pemerintah dapat menjadi lebih bermanfaat daripada hanya sekedar sebagai tempat bersantai maupun berpacaran dan berjualan. Berkat kegiatan aktif mereka di taman Mertojoyo, akhirnya sekarang pemerintah menyediakan perpustakaan keliling yang berlokasi di daerah tersebut. Hal ini merupakan salah satu pencapaian komunitas sebab mereka sebagai pioneer akan pentingnya perpustakaan keliling. Kemudian sekarang kegiatan perpustakaan keliling milik Gubuk Tulis beralih ke taman Keramik Dinoyo.
Komunitas ini selain telah berkontribusi terhadap peningkatan budaya baca dan literasi masyarakat, juga turut memberi contoh menghargai perbedaan yang ada. Buktinya adalah diskusi yang diangkat tidak hanya diskusi mengenai filsafat Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini, tetapi juga filsafat Kristen yang diajar langsung oleh seorang romo. Diskusi mengenai agama Buddha dan Hindu belum dilakukan sebab untuk mengerti filsafat Buddha, seseorang hendaknya telah memahami filsafat dasar seperti yang diajarkan oleh agama Islam dan Kristen. Dengan diadakannya diskusi lintas agama semacam ini, para peserta diskusi juga dapat mengerti nilai-nilai yang diangkat oleh agama lainnya sehingga rasa toleransi juga ikut diperkuat. Rasa toleransi beragama inilah yang menjadi dasar sila pertama Pancasila.





BAB IV
REFLEKSI

Pancasila adalah lima dasar yang dipegang oleh bangsa Indonesia. Dasar ini digunakan bangsa Indonesia untuk hidup berbangsa dan bernegara. Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia. Arti dan Makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu :
1.      Pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memeluk agama sesuai dengan hukum yang berlaku
3.      Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antar umat dan dalam beragama.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber pokok nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dalam sila ketuhanan itu tercakup nilai religius yang mengatur hubungan negara dengan agama,dan hubungan manusia dengan sang pencipta.
Pancasila mengajarkan agar setiap manusia Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing – masing. Pancasila Tidak mengajarkan untuk mencampuri urusan agama dan kepercayaan masing – masing karena hubungan antara manusia dengan Tuhan telah diatur oleh agama dan kepercayaaan tersebut.
Pancasila mengatur bagaimana hubungan antara manusia Indonesia dengan berbagai agama dan kepercayaannya itu hidup sejahtera, aman dan damai dalam menjalankan tugas dan agama serta kepercayaannya masing – masing. Berarti tidak ada yang salah mengenai upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal mengatur hubungan antara pemerintah denga umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Serta pemerintah juga mengatur hubungan antara umat agama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam lingkunganya masing – masing.
Sesungguhnya apabila pancasila dipahami, dihayati, dan diamalkan secara jujur dan benar serta konsekuen oleh setiap anggota masyarakat, utamanya para penyelenggara Negara dan para elit politik dalam melaksanakan gerakan reformasi untuk mewujudkan Indonesia masa depan yang dicita-citakan, maka pancasila dapat menjadi perekat dan mengarahkan kekuatan kemajemukan bangsa untuk mencapai tujuan yang besar dan mulia berupa tegaknya kedaulatan Negara untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia.  Disamping itu secara filosofis Pancasila dapat dikembangkan menjadi sitem moral universal, yang dipayungi oleh sila pertama ketuhanan yang maha esa, sebagai sumber nilai utama dan tertinggi dari sila - sila yang lain dan kemudian diakhiri dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan kemerdekaan.


BAB V
KESIMPULAN

Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia. Dari asal kata Panca dan Sila yaitu lima dasar atau lima prinsip. Pada kelima sila pada pancasila membentuk suatu kesatuan. Sila 1 adalah ketuhanan dlm menjalankan syariat-syariat islam bagi pemeluknya yang kemudian diubah menjadi lebih singkat yaitu ketuhanan yang Maha Esa. Makna dari sila 1 adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan selaku pencipta semesta dan segala isisnya. Penerapan sila 1 dalam pancasila ditunjukkan dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Arti dan makna lain yang terkandung dalam sila 1 bukan hanya dari 1 agama saja, yang dimaksud adalh kristalisasi dari masyarakat setiao kepercayaan dari setiap agama. Karena setiap agama mengimani Tuhannya masing-masing menurut agama yang dianut. Pentingnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,  demokrasi dan keadilan sosial dalam kelima sila dalam pancasila dikemukakan oleh anggota BPUPKI dan Soekarno dalam sidang BPUPKI. Ketuhanan menjadi prinsip yang diusulkan oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragama khususnya golongan agama. Namun,  sila 1 mengandung sejarah perdebatan, Golongan islam menawarkan konsep ketuhanan yangv lebih konkret dan spesifik yaitu kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Meski terjadi perdebatan,  akhirnya terpilih redaksional “Ketuhanan yang Maha Esa” untuk menjaga persatuan bangsa sebagai sila 1.
Intelektual indonesia, Emma Ainun Najdjib mengutarakan pandangannya antara Kebangsaan dan dan agama yaitu “serius berpancasila dituduh kafir, sungguh-sungguh beragama dituduh Makar. Memang banyak perdebatan tentang makna pancasila yang sebenarnya,  Albert Einstein juga mengatakan “Agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa ilmu adalah buta” jadi agama sangatlah penting dalam pengaruh kehidupan dan merupakan pandangan hidup bangsa. Nilai kecintaan pada pancasila, agama dan ilmu pengetahuan haruslah seimbang dan menjadi suatu kesatuan. Karena tanpa salah satu nilai tersebut Tidak akan berjalan mulus dalam menjalani kehidupan. Berbagai macam dapat dilakukan dalam menerapkan nilai-nilai pancasila , salah satu penerapannya adalah melalui berbagai kegiatan sosial yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Contoh komuniatas yang telah menerapkan beberapa nilai-nilai pancasila yaitu komunitas Gubuk Tulis yang didirikan pada 4 Februari 2016 oleh sekelompok pemuda Gusdurian yang merupakan mahasiswa sekitar kota Malang maupun aktivis sosial. Komunitas yang sudah berdiri hampir 1,5 tahun ini merupakan komunitas yang cukup berpengaruh di kota Malang. Gubuk Tulis itu sendiri berasal dari kata Gubuk yang artinya tempat perlindungan dan Tulis yaitu media penyalur ide, sehingga dapat disimpulkan bahwa gubuk tulis merupakan tempat para penyalur ide dalam pembuatan karya. Karya yang dihasilkan yaitu koran harian dan artikel redaksi kompasiana. Tempatnya berkonsep seperti cafe,  sehingga para anggota bisa merasa nyaman dalam menyalurkan ide-ide. Komunitas ini rutin melakukan diskusi dalam kegiatannya, diskusi yang diusung adalah filsafat keagamaan dan isu gender. Dalam bahasannya, filsafat keagamaan adalah filsafat islam dan katholik, sedangkan isu gender membahas nikah siri di Indonesia. Kegiatan lain yang dilakukan adalah diskusi bahasa inggris yang dipandu oleh Miss Charlote, kegiatan ini bertujuan untuk melatih para anggota komunitas dalam menggunakan bahasa asing. Komunitas ini juga aktif dalam kegiatan perpustakaan keliling yang bukunya didapat dari sumbangan Sekolah Budha Batu dan masih banyak kegiatan positif yang dilakukan komunitas tersebut.
Ajaran pancasila percaya kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan dan mengatur hubungan manusia dengan agama adalah hidup sejahtera, aman dan damai. Yang dimaksud dari hubungan tersebut adalah dalam hidup kita bisa sejahtera dan damai dalam toleransi sesama umat manusia tanpa membedakan agama satu dengan yang lain. Jika Pancasila diamalkan dengan baik dan benar dapat menjadi perekat dan mengarahkan kekuatan bangsa untuk mencapai tujuan yang besar dan mulia berupa tegaknya kedaulatan negara untuk kepentingan bangsa Indonesia serta menjamin tumbuh suburnya kehidupan beragama antar umat manusia.



DAFTAR PUSTAKA


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar