MAKALAH
PENGHAYATAN SILA PERTAMA PANCASILA
DALAM REALITAS YANG TERJADI DI KOMUNITAS
GUBUK TULIS
DISUSUN OLEH:
ELISABETH ATIKA IRWAN 511610002
ELISYIA KURNIAWATI SISWANTO 511610003
IVANA GUNAWAN 511610005
MICHELE ELIONA SENA 511610008
TIFFANY MEYRISTA DIANDRA 511610010
VIA PERTINA KUSWANTO 511610011
UNIVERSITAS MA CHUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari kemajemukan baik
dalam suku, budaya, adat-istiadat, serta bahasa. Kesemua hal ini tentunya perlu
dirangkul menjadi satu kesatuan yang kukuh dan tidak tergoncangkan. Wadah
pemersatu dari kemajemukan ini adalah Pancasila.
Pancasila merupakan Dasar Negara dari Bangsa
Indonesia. Selain menjadi Dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan
hidup bangsa. Ini artinya, Pancasila adalah arah atau kiblat bagaimana dan arah
mana bangsa ini akan bertindak atau berlangsung. Apabila Pancasila diubah, maka
kelak negara ini akan hancur karena Pancasila merupakan pondasi dari Negara Indonesia.
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta
dimana “panca” berarti lima dan “sila” berarti prinsip atau dasar
yang jika digabungkan bermakna lima prinsip atau lima dasar. Kelima sila dalam
Pancasila ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Setiap sila dari
Pancasila membentuk suatu kesatuan, bukan sebagai unsur komplementer
(pelengkap). Meskipun sila pertama berkaitan dengan Tuhan sebagai kausa prima,
hal ini tidak berarti bahwa sila yang lain merupakan sila yang hadir hanya
sebagai pelengkap.
Sila pertama Pancasila pada perumusan awal
adalah Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat-Syariat Islam Bagi Pemeluknya.
Isi sila pertama ini kemudian diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan pertimbangan kemajemukan yang ada di Indonesia. Indonesia bukan melulu
soal agama Islam, tetapi banyak agama yang sudah diakui di Indonesia seperti
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Sila pertama Pancasila mengandung
kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selaku pencipta semesta
dan segala isinya. Pengamalan dari sila pertama dapat kita lihat dalam: (a) Pembukaan
UUD 1945 yang merupakan dasar dari segala sumber hukum. Pada alinea II tertulis
“atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa..”. Dari kutipan pembukaan UUD
1945 ini dapat dilihat bahwa Bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai
Ketuhanan. (b) Batang tubuh UUD 1945 pada pasal 29 UUD 1945 baik ayat 1 dan 2.
BAB II
REVIEW DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pancasila sebagai Dasar
Negara Indonesia
Pancasila merupakan Dasar Negara dari Bangsa Indonesia. Selain menjadi Dasar Negara, Pancasila juga merupakan pandangan hidup bangsa. Ini artinya, Pancasila adalah arah atau kiblat bagaimana dan arah mana bangsa ini akan bertindak atau berlangsung. Apabila Pancasila diubah, maka kelak Negara ini akan hancur karena Pancasila merupakan pondasi dari Negara Indonesia. Pancasila ialah
sebagai dasar negara sering juga disebut dengan dasar falsafah negara (dasar
filsafat negara atau philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara
(staatsidee). Dalam hal tersebut Pancasila dipergunakan sebagai dasar
untuk mengatur pemerintahan negara. Dengan kata lain ialah, Pancasila digunakan
sebagai dasar untuk mengatur seluruh penyelenggaraan negara. Pengertian Pancasila ialah
sebagai dasar negara seperti dimaksud dalam bunyi Pembukaan UUD 1945
Alinea IV(4) yang secara jelas menyatakan, ialah kurang lebih sebagai berikut:
“Kemudian dari pada itu
untuk dapat membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi serta keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang suatu Dasar Negara Indonesia yang
berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
serta beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
untuk mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Norma hukum pokok serta disebut pokok kaidah fundamental daripada
suatu negara itu dalam hukum mempunyai hakikat serta kedudukan yang tetap,
kuat, dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk. Dengan kata lain,
dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Fungsi serta kedudukan Pancasila
sebagai pokok kaidah yang fundamental. Hal tersebut penting sekali dikarenakan UUD harus bersumber
serta berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental itu.
Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta dimana “panca” berarti lima dan“sila” berarti prinsip atau dasar yang jika digabungkan bermakna lima prinsip atau lima dasar. Kelima sila dalam Pancasila ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Setiap sila dari Pancasila membentuk suatu kesatuan, bukan sebagai unsur komplementer (pelengkap). Meskipun sila pertama berkaitan dengan Tuhan sebagai kausa prima, hal ini tidak berarti bahwa sila yang lain merupakan sila yang hadir hanya sebagai pelengkap.
2.2 Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” mengandung kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selaku pencipta semesta dan segala isinya. Namun banyak petanyaan mengenai bagaimana sila
pertama tersebut dihadapkan pada Negara Indonesia sebagai Negara beragama dan
bagaimana menjelaskan tentang konsep Ketuhanan dan konsep Keesaan yang
terkandung di dalamnya. Sekurang-kurangnya terdapat lima agama di Indonesia.
Ketuhanan yang dimaksudkan dalam sila pertama ini, bukanlah Tuhan dari satu
agama tertentu. Tetapi sila ini merupakan kristalisasi dari masyarakat
Indonesia yang beragam, sehingga Ketuhanan yang dimaksudkan adalah Tuhan yang
diimani menurut setiap keprcayaan dan setiap agama. Hal demikian pun terjadi
pada konsep keesaan yakni keesaan yang dimaksudkan adalah setiap agama
mengimani Tuhannya masing-masing menurut ajaran dari iman yang dipercayainya,
“Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima
daripada negara ini ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang
berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
Begitulah bunyi pidato Sukarno
ketika menyampaikan prinsip terakhir dari lima dasar negara dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Prinsip
kelima itu kini menjadi sila pertama Pancasila. Empat prinsip lainnya yang
dikemukakan Sukarno adalah kebangsaan, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
dan kesejahteraan sosial. Bagi Sukarno, urut-urutan kelima prinsip itu bukanlah
urutan prioritas, namun sequential, berdasar urutan logika. Kesemua prinsip itu pada dasarnya
telah dikemukakan, baik secara keseluruhan ataupun terpisah-pisah, oleh para
anggota BPUPKI sejak hari pertama sidang, 29 Mei 1945. Muhammad Yamin mengusulkan peri
kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat. Namun di samping itu, Yamin juga berbicara soal pembelaan
negara, budi pekerti, susunan negara, bahkan hak tanah. Sementara Soepomo menyampaikan perihal
persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, dan keadilan
rakyat. Pentingnya
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial
juga dikemukakan oleh anggota sidang lainnya seperti, Wiranatakoesoema, Soerio,
Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agus Salim, Muhammad Hatta, Ki Bagoes
Hadikoesoemo, Woerjaningrat, Radjiman Wediodiningrat, hingga Liem Koen Hian.
Meski demikian, prinsip-prinsip yang
diajukan semula masih serabutan.
Kategorisasi prinsip-prinsip yang diajukan pun masih simpang siur dengan konsep
“asas”, “paham”, atau “aliran pikiran”.
Setelah Sukarno menyampaikan pidatonya pada 1 Juni dengan
begitu heroik, simpatik, dan empatik, pembahasan philosofische grondslag
atau dasar falsafah menemukan titik terang. Pada tanggal itulah nama Pancasila
lahir dengan kelima prinsip yang dikemukakan Sukarno. Ketuhanan menjadi prinsip yang
diusulkan oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragam, khususnya golongan
agama.
Namun sila ketuhanan ini mengandung
sejarah perdebatan yang cukup panjang. Golongan Islam tentu saja menawarkan
konsep ketuhanan yang lebih konkret dan spesifik, yakni ketuhanan dan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Lalu dari mana asal konsep ketuhanan
yang dikemukakan Sukarno?
Berdasarkan sejarah, terdapat cerita
bahwa konsep ketuhanan yang dikemukakan oleh Sukarno terinspirasi dari
pergaulannya dengan banyak ulama.
Sukarno, sejak muda dekat dengan Sarekat Islam dan para
ulama di dalamnya. Hingga ketika ia dibuang ke Ende, Flores, pun, Sukarno tetap
rajin berkorespondensi dengan ulama, salah satunya pendiri Persatuan Islam
(Persis) Ahmad Hassan. Ketika
berada di Padang, Sumatera Barat, pada Februari 1942 hingga Juli 1942, Sukarno
juga banyak bergaul dengan ulama besar di sana. Ia pernah berkunjung ke Perguruan
Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang didirikan
oleh Syekh
Abbas Abdullan Padang Japang. Syekh Abbas bukan sekadar ulama,
tapi juga Panglima Jihad Sumatera Tengah. Selain mendirikan sekolah madrasah,
Syekh Abbas memiliki pasukan jihad sebagai basis perjuangan melawan Belanda. Suatu hari, sekitar pukul satu siang,
Sukarno sempat datang mengunjungi Syeikh Abbas. Meski saat itu masih masa-masa
transisi dari era Belanda ke Jepang, Sukarno ingin membicarakan perihal dasar negara. Ketika Sukarno bertanya perihal apa
yang terbaik jika kelak bangsa Indonesia ini merdeka, ulama yang kala itu
berusia 59 tahun itu menjawab, “Negara yang akan didirikan kelak haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Bagi Syeikh Abbas, jika hal tersebut
diabaikan, maka revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Percakapan itu cukup singkat, dan
Sukarno pulang sore harinya.
Namun kunjungan Sukarno itu menjadi ingatan kolektif
masyarakat Padang Japang. Perisitwa itu tercatat dalam Riwayat Hidup dan
Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat yang diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatera Barat pada 1981.
Nilai ketuhanan dalam lintasan
sejarah Nusantara memang berkembang sejalan dengan nasionalisme yang juga
semakin tumbuh. Meski terjadi perdebatan terkait 7
kata --dengan
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya-- yang diusulkan untuk
dilekatkan pada prinsip Ketuhanan, namun akhirnya terpilihlah redaksional
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Konsensus itu, tentu saja, lahir
demi menjaga persatuan bangsa.
Secara psikologis bahasa itu sangat mempengaruhi dan
menentukan agar semua orang dari suku, etnis, golongan, aliran kepercayaan
maupun agama dapat merasa menjadi Indonesia yang seutuhnya. Seutuhnya dari jiwa
dan raga dalam pluralisme, Bhineka Tunggal Ika.
2.3
Asal Mula Bhinneka Tunggal Ika
Merujuk
kepada keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979,
disebutkan bahwa semboyan "Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno,
setelah merdeka semboyan itu diperkuat dengan lambang yang dibuat Sultan Abdul
Hamid Pontianak dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari
1950. Istilah "ciptaan Sukarno" dalam pernyataan Mohammad Hatta di
atas dirasa kurang tepat, karena dengan pernyataan itu memberikan pengertian,
bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno. Pernyataan ini juga
akan bertentangan dengan pidato Presiden Sukarno sendiri pada tanggal 22 Juli
1958 di Istana Negara yang menyatakan bahwa "di bawahnya tertulis seloka
buatan Empu Tantular "Bhinneka Tunggal Ika, Bhina ika tunggal ika –
berjenis-jenis tetapi tunggal".
Berdasarkan isi pidato Presiden Sukarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu Tantular. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa latin: e pluribus unum ("Dari banyak menjadi satu").
Berdasarkan isi pidato Presiden Sukarno di atas, semboyan itu adalah buatan Empu Tantular. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Mohammad Yamin, seperti yang dikemukakan dalam buku 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1954 yang menyatakan, bahwa semboyan itu dinamai seloka Tantular karena kalimat yang tertulis dengan huruf yang jumlah aksaranya 17 itu berasal dari pujangga Tantular yang mengarang kitab Sutasoma pada masa Madjapahit pada abad XIV. Adapun arti seloka Jawa lama itu adalah walaupun berbeda-beda ataupun berlainan agama, keyakinan dan tinjauan tetapi tinggal bersatu atau dalam, bahasa latin: e pluribus unum ("Dari banyak menjadi satu").
Semboyan
itu menjadi bagian dari lambang negara adalah merupakan kesepakatan antara
Sultan Hamid II dengan Mohammad Hatta, Sukarno yaitu atas usul Presiden Sukarno
untuk mengganti pita yang dicengkram Garuda, yang semula direncanakan berwarna
merah putih kemudian diganti menjadi warna putih dan Presiden Soekarno
mengusulkan supaya di atas pita warna putih tersebut dimasukan seloka Bhinneka
Tunggal Ika. Sebab warna merah putih dianggap sudah terwakili dalam warna dasar
perisai Pancasila. Dengan
demikian yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta dengan pernyataan bahwa
"Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah ciptaan Sukarno". Dalam buku
Bung Hatta Menjawab tahun 1978 itu maksudnya semboyan itu adalah usulan
Presiden Sukarno.
Arti
Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma itu artinya berbeda itu tetapi
satulah itu atau menurut terjemahan Muhammad Yamin:
“…berbedalah itu, tetapi satulah itu. Seloka ini
falsafah awalnya berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam
kerajaan Keprabuan Majapahit, karena pada waktu itu aliran agama sangat banyak
dan aliran fikiran demikian juga. Untuk maksud itu seloka itu disusun oleh Empu
Tantular dengan tujuan untuk menyatukan segala aliran dengan mengemukakan
persamaan. Persamaan inilah yang mengikat segalanya, yaitu Bhinneka Tunggal Ika…”
Patut pula untuk diketahui, bahwa semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, pertama kali diselidiki oleh Prof. H. Kern pada tahun 1888
Verspreide Geschriften 1916. IV, hal 172 dalam lontar Purusadacanta atau lebih
dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan diperpustakaan Kota Leiden,
dan kemudian diselidiki kembali oleh Muhammad Yamin. Kemudian semboyan itu
menempuh proses kristalisasi mulai pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya
negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
lambang negara sejak 8 Februari 1950.
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979 menyatakan, bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra-putri bangsa dan semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini menegaskan pula, betapa pentingnya dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ika itu. Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna tersirat dan tersurat, bahwa bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajukan itu bukanlah ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan bangsa.
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang Merah Putih, beliau menyatakan:
Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal Ika dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam Bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979 menyatakan, bahwa Ke Ika-an di dalam Bhinneka Tunggal Ika, adalah berujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu. Unsur keanekaragaman tetap ada pada daerah-daerah dari berbagai adat dan suku. Akan tetapi, makin sempurna alat-alat perhubungan, semakin pesat pembauran putra-putri bangsa dan semakin bijak pegawai Pemerintah dan Pemimpin Rakyat melakukan pimpinan, bimbingan dan pengayoman terhadap rakyat seluruhnya, maka akan pastilah pula bahwa unsur-unsur ke Bhinneka itu lambat laun akan cenderung meleburkan diri dan semangatnya kepada unsur ke-lka-an. Bhinneka Tunggal Ika ini menegaskan pula, betapa pentingnya dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-lka-an dari adanya unsur-unsur ke-Bhinneka-an itu, dengan kenyataan bahwa dalam lambang negara kita dimana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan terletak dipusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ika itu. Seloka Bhinneka Tunggal Ika yang tertera didalam lambang negara itu memberikan makna tersirat dan tersurat, bahwa bangsa Indonesia menghargai akan kemajemukan, tetapi kemajukan itu bukanlah ancaman tetapi dijadikan sarana mempersatukan dengan tetap menghargai kemajemukan bangsa.
Akar sejarah dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika adalah seloka dari Empu Tantular, 1350 M, sebagaimana telah diteliti oleh Muhammad Yamin, hasil penelitian yang dibukukan dalam buku: 6000 Tahun Sang Merah Putih, beliau menyatakan:
“Apabila kita pelajari buah fikiran ahli filsafah
Indonesia sesudah abad ke-XIV sampai kini, maka kagumlah kita kepada pertjikan
otak ahli pemikir Empu Tantular, seperti dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang
dikarangnya dalam jaman kentiana keperabuan Majapahit pada pertengahan abad
ke-XIV. Hal itu bukanlah suatu hal yang sudah mati.”
Dari ahli filsafah Tantular yang ulung itu berasal
kalimat Bhineka Tunggal Ika, dan tanhana dharma mangrwa. Artinya seluruh
kalimat seloka Tantular itu: berbedalah itu, tetapi satulah itu; dan di dalam
peraturan undang-undang tidak adalah diskriminasi atau dualisme. Seloka itu dapat menyatukan segala
aliran dengan mengemukakan persamaan, dengan pengertian bahwa diantara berbagai
fikiran, perbedaan agama dan perbedaan filsafah ada jugalah persamaan yang
menyatukan. Dan persamaan inilah yang mengingkat segalanya, yaitu Bhineka
Tunggal Ika berjenis-jenis, tetapi tetap tinggal bersatu. “Dan dalam perbedaan pikiran dan pendapat ada
persamaan yang dapat mengikat dalam pokok kesatuan.
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula dengan aliran politik dan aliran kebudayaan”. Itu ditegaskan oleh Empu Tantular. “Janganlah segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan diadakan diskriminasi dan dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan segala aliran.”
Satu agama tidaklah lebih atau kurang daripada agama lain. Demikian pula dengan aliran politik dan aliran kebudayaan”. Itu ditegaskan oleh Empu Tantular. “Janganlah segala aliran itu dinilai berbagai-bagai, dan jangan diadakan diskriminasi dan dualisme, melainkan sungguh sama nilai dan sama harganya. Rasa toleransi dapat menyatukan segala aliran.”
Begitu pulalah ajaran Panca Sila yang mengandung
maksud untuk memberi dasar bagi perjuangan negara Indonesia yang dilahirkan
atas persatuan dan kemerdekaan yang berdaulat. Dan sudah ternyata Panca Sila
dapat mempersatukan Bangsa Indonesia sejak hari Proklamasi sampai waktu kini.
Jadi seperti filsafah Tantular, maka ajaran Panca Sila ialah sistem filsafah
yang mengandung daya pengikat atau alat pemersatu dalamnya untuk memperkuat
persatuan Bangsa, yang menjadi sarat mutlak bagi kemerdekaan. Hal itu dapat
difahamkan. Ajaran Panca Sila sebagai alat mempersatu tidaklah saja menjadi
faktor azasi dalam memperkuat kemerdekaan yang bersemangat, tetapi juga
sangatlah penting bagi pelaksanaan pembinaan Bangsa Indonesia yang telah
berdiri sejak tahun 1928 dan menjadi Nation Indonesia sejak tahun Proklamasi
1945. Jadi tegaslah, bahwa ajaran
Panca Sila itu benar-benar suatu sistem falsafah untuk mempersatukan berbagai
aliran, dan diatasnya dibentuk Negara Indonesia yang meliputi daerah Indonesia
yang menjadi dukungan Bangsa Indonesia yang bersatu. Keterangan
Muhammad Yamin di atas semakin membuktikan, bahwa seloka Bhinneka Tunggal Ika
yang menurut keterangan Presiden Sukarno adalah masukan dari seorang ahli
bahasa, maka bisa dipastikan yang dimaksudkan adalah Muhammad Yamin, hal inipun
dikuatkan ketika terminologi Pancasila dinyatakan oleh Presiden Sukarno, juga
atas usulan ahli bahasa, "Namanya bukan Panca Darma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Panca Sila, Sila artinya azas
atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia,
kekal dan abadi", maka yang dimaksudkan oleh Soekarno
dengan teman kita seorang ahli bahasa itu tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Berdasarkan transkrip Sultan Hamid II di atas, bahwa
masuknya seloka Bhinneka Tunggal Ika pada pita yang dicengkram cakar Elang
Rajawali Garuda Pancasila adalah sebuah sinergisitas atau perpaduan terhadap
pandangan kenegaraan ketika itu, yaitu antara paham federalis (kebhinnekaan)
dengan paham kesatuan/Unitaris (Tunggal), sebagaimana kita ketahui Sultan Hamid
II adalah tokoh berpandangan federalisme yang mengutamakan prinsip keragaman
dalam persatuan, sedangkan Soekarno adalah tokoh berpandangan unitaris yang
mengutamakan prinsip persatuan dalam keragaman, hal ini memberikan makna secara
semiotika hukum, bahwa pembacaan Bhinneka Tunggal Ika yang tepat seharusnya
adalah keragaman dalam persatuan dan persatuan dalam keragaman, karena kata
Bhinneka artinya keragaman, sedangkan Tunggal artinya satu, dan Ika artinya
itu, maknanya yang beragam-ragam satu itu dan yang satu itu beragam-ragam,
apakah yang satu itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukankah
sebuah paham multikulturisme modern dan itulah jati diri bangsa Indonesia serta
salah satu pilar kebangsaan Indonesia yang bernama Bhinneka Tunggal Ika. Menelusuri sejarah terbentuknya RIS 1949
dalam kaitannya dengan lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila
bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan menjadi Lambang Negara RIS,
pada tanggal 11 Februari 1950 memberikan penegasan bahwa Bhinneka Tunggal Ika adalah merupakan frase jati diri kebangsaan
Indonesia yang tepat untuk menyatukan dua paham kenegaraan ketika itu.
Dengan adanya semboyan Bhineka
Tunggal Ika seharusnya masyarakat Indonesia bisa bersatu dan menghambat semua
konflik yang didasari atas kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun apa yang
terjadi saat ini, makna Bhineka Tunggal Ika seakan-akan tak pernah ada dan tak
berarti lagi. Adanya perbedaan,
seperti perbedaan status, ras, agama maupun golongan serta paham membuat anti
persatuan, pertengkaran, yang menjadikan kerusuhan di mana-mana. Padahal
perbedaan adalah anugerah dimana kita bisa mengenal, mengisi satu sama lain.
Serta mengakui perbedaan dan menghormatinya, ditambah dengan kuatnya niat untuk
mempertahankan kesatuan, maka negeri ini akan damai. Tak akan ada kerusuhan
dimana-mana. Menurut Brewer & Gaetner (2003) salah satu cara agar konsep
Bhineka Tunggal Ika menjadi jiwa masyarakat Indonesia adalah dengan identitas social mutual differentiation model,
yaitu suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu mempertahankan
identitas asal. Namun secara kebersamaan ke semua kelompok tersebut juga
memiliki tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
BAB III
ANALISIS KRITIS
Seorang intelektual berkebangsaan
Indonesia, Emha Ainun Nadjib, menyatakan sisi pandangnya
antara kebangsaan dengan agama: serius ber-Pancasila dituduh Kafir,
sungguh-sungguh beragama dituduh Makar. Sedangkan Albert Einstein pernah
mengatakan bahwa agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa agama adalah
lumpuh. Maka dapat dikatakan bahwa nilai kecintaan pada Pancasila, pada agama,
serta pada ilmu pengetahuan haruslah seimbang. Setiap orang boleh cerdas dan
taat beragama, tapi jangan lupa pada kewajiban untuk mencintai negeri tempat ia
lahir dan dibesarkan. Salah satu sikap mencintai negeri adalah dengan melakukan
nilai luhur yang ada di dalam Pancasila sebagai dasar negara kita, dasar kita
bersikap sebagai warga negara yang baik. Contoh luhur yang dapat dilakukan agar
sesuai dengan sila pertama Pancasila adalah dengan menghayati sila pertama yang
berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Arti dari sila ini adalah Tuhan memiliki
sifat yang Esa atau satu, Tuhan adalah milik semua agama dan kita harus
mentolerirnya. Kita sebagai makhluk Tuhan, harus dapat menciptakan tenggang
rasa antar umat yang tidak seiman di samping kita memiliki kewajiban beragama
masing-masing. Sikap menerima perbedaan memang tidak mudah dilakukan, oleh
karenanya kita sebagai masyarakat harus terbiasa dan memiliki ilmu dan akal
yang baik agar tidak terpecah belah. Dengan ilmu kita dapat menjadi lebih
berakhlak dan menghargai perbedaan sebagai suatu kekayaan dan keberagaman,
bukannya alasan untuk saling memecah belah bangsa. Salah satu cara agar menjadi
lebih berilmu adalah dengan saling mengetahui ciri, sikap, dan nilai yang
dijunjung tiap agama.
Selain ilmu beragama, seseorang hendaknya
juga berteguh pada ilmu lainnya, misalnya pada ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu ini
nantinya akan menjadi kekuatan agar bangsa menjadi lebih maju. Apalagi pada zaman
yang modern ini kita hendaknya tidak hanya menerima ilmu saja, melainkan juga
ikut berkontribusi dalam kegiatan penularan ilmu. Apalagi zaman sekarang ini
sudah sangatlah mudah kita memberi sumbangsih ilmu terhadap masyarakat dengan
berbagai teknologi yang ada. Misalnya dengan cara menuliskan ide-ide yang
membangun dan mempererat tali persaudaraan sebagai satu bangsa meski beda
keyakinan. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran sekelompok pemuda Gusdurian
yang menamakan diri mereka “Gubuk Tulis”.
Komunitas ini sudah didirikan sejak
tanggal 4 Februari 2016 dan sekarang telah berkembang menjadi salah satu
komunitas berpengaruh bagi kota Malang, terutama di daerah Dinoyo. Mereka
menamakan diri sebagai Gubuk Tulis sebab istilah “gubuk” bernotasi tempat perlindungan
ketika seseorang tersesat dan “tulis” yang artinya kegiatan menyalurkan ide
melalui tulisan. Artinya meski sekarang telah banyak orang yang tersesat dan
terlena akan kecanggihan teknologi, pasti ada dari mereka yang dapat
tersadarkan dan menjadikan diri mereka lebih berguna. Terutama kelompok anak
muda yang sudah sangat bergantung dengan teknologi dapat ikut memberi
kontribusi melalui tulisan di internet. Mereka berharap di era ini, seseorang
tidak hanya menggunakan internet sebagai media hiburan, tetapi juga untuk
menambah dan menyalurkan pikiran mereka.
Meski baru 1,5 tahun berdiri, komunitas
ini telah memiliki banyak karya di bidang tulis-menulis, misalnya berbagai
artikel yang diterbitkan di koran harian maupun di berbagai media virtual milik
redaksi kompasiana. Komunitas yang kebanyakan terdiri dari kaum mahasiswa
maupun aktivis kegitan sosial ini secara konsisten melakukan publikasi tulisan
agar masyarakat dapat mengetahui berbagai isu aktual yang terjadi dengan gaya
penulisan yang berbeda. Mereka tak akan berhenti mencoba menyalurkan ilmu
dengan bahasa yang unik agar masyarakat dapat lebih tertarik membaca dan
membangun budaya literasi.
Selain
aktif pada kegiatan tulis menulis, komunitas ini juga rutin melakukan diskusi
di basecamp mereka yang terletak di
jalan Joyoutomo V/F no 1. Tema yang diangkat sebagai topik diskusi antara lain
adalah filsafat keagamaan dan isu gender. Filsafat keagamaan yang telah dan
sering dibahas adalah filsafat Islam dan Katolik, sedangkan isu gendernya
meliputi diskusi nikah siri dan keadilan gender. Peserta diskusi yang datang
kebanyakan merupakan mahasiswa UB dan Universitas Muhammadiyah, bahkan ada pula
beberapa dosen yang datang sebagai pemateri maupun sekadar ikut berdiskusi.
Diskusi yang dilakukan juga banyak mendapat minat publik, terbukti pada tiap
diskusi terdapat sekitar 40 hingga 80 orang yang datang.
Suasana diskusi dibuat makin nyaman dengan
diadakannya basecamp yang dibuat
menyatu dengan café yang dinamakan Café Oase. Tujuan dibentuknya café bukan untuk mencari keuntungan
semata sebab harga yang dipatok tergolong tidak mahal, melainkan agar peserta
diskusi dapat menikmati secangkir kopi sambil berbincang. Bahkan jika ada
anggota diskusi yang sedang berhalangan untuk membayar, café ini mau memberi produknya secara gratis. Selain membahas
filsafat dan gender, terkadang diadakan pula diskusi dengan bahasa Inggris yang
dipimpin oleh Miss Charlotte. Diskusi dengan bahasa asing ini dilakukan agar
masyarakat terutama peserta diskusi yang hadir dapat sedikit banyak berlatih
mendengar dan menggunakan bahasa asing tersebut. Selain itu para pengurus dan
anggota komunitas ini juga sering datang ke tempat perayaan agama lain. Hal ini
dilakukan selain untuk mengenal secara langsung adat istiadat agama lain juga
sebagai bahan tulisan artikel sehingga masyarakat luas dapat lebih memahami
perayaan masing-masing agama yang baru dilaksanakan.
Gubuk
Tulis juga turut aktif membuka perpustakaan keliling, yaitu dengan cara membawa
koleksi buku yang mereka miliki ke taman terdekat yaitu ke taman Mertojoyo.
Koleksi buku yang mereka miliki bermacam, ada yang bacaan anak-anak, novel,
hingga berbagai buku pelajaran sekolah. Semua buku yang mereka miliki berasal
dari sumbangan sukarela dari para peserta diskusi, pembicara, wartawan, maupun
berbagai lembaga sosial yang ada di kota Malang dan sekitarnya. Sekolah Tinggi
Ilmu Buddha Batu telah sering memberikan berbagai buku bacaan mengenai filsafat
untuk komunitas ini meski hingga sekarang belum pernah didiskusikan topik
filsafat Buddha. Buku-buku yang didapat dari sumbangan berbagai pihak ini
disusun pada rak yang berada di sebelah café sehingga siapapun, tidak hanya
peserta diskusi, bahkan pelanggan café pun dapat ikut membaca dan menambah
ilmunya.
Awalnya komunitas ini berharap agar taman yang
telah dibangun pemerintah dapat menjadi lebih bermanfaat daripada hanya sekedar
sebagai tempat bersantai maupun berpacaran dan berjualan. Berkat kegiatan aktif
mereka di taman Mertojoyo, akhirnya sekarang pemerintah menyediakan
perpustakaan keliling yang berlokasi di daerah tersebut. Hal ini merupakan
salah satu pencapaian komunitas sebab mereka sebagai pioneer akan pentingnya perpustakaan keliling. Kemudian sekarang
kegiatan perpustakaan keliling milik Gubuk Tulis beralih ke taman Keramik
Dinoyo.
Komunitas ini selain telah berkontribusi
terhadap peningkatan budaya baca dan literasi masyarakat, juga turut memberi
contoh menghargai perbedaan yang ada. Buktinya adalah diskusi yang diangkat
tidak hanya diskusi mengenai filsafat Islam sebagai agama mayoritas di negeri
ini, tetapi juga filsafat Kristen yang diajar langsung oleh seorang romo.
Diskusi mengenai agama Buddha dan Hindu belum dilakukan sebab untuk mengerti
filsafat Buddha, seseorang hendaknya telah memahami filsafat dasar seperti yang
diajarkan oleh agama Islam dan Kristen. Dengan diadakannya diskusi lintas agama
semacam ini, para peserta diskusi juga dapat mengerti nilai-nilai yang diangkat
oleh agama lainnya sehingga rasa toleransi juga ikut diperkuat. Rasa toleransi
beragama inilah yang menjadi dasar sila pertama Pancasila.
BAB IV
REFLEKSI
Pancasila adalah lima dasar yang dipegang
oleh bangsa Indonesia. Dasar ini digunakan bangsa Indonesia untuk hidup
berbangsa dan bernegara. Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara Indonesia seperti tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai
kehidupan masyarakat Indonesia. Arti dan Makna sila
Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu :
1. Pengakuan
adanya Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tidak
memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memeluk agama sesuai dengan
hukum yang berlaku
3. Menjamin
berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antar umat dan
dalam beragama.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sumber
pokok nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dalam sila
ketuhanan itu tercakup nilai religius yang mengatur hubungan negara dengan agama,dan hubungan
manusia dengan sang pencipta.
Pancasila mengajarkan agar setiap manusia Indonesia
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka
masing – masing. Pancasila Tidak mengajarkan untuk mencampuri urusan agama dan
kepercayaan masing – masing karena hubungan antara manusia dengan Tuhan telah
diatur oleh agama dan kepercayaaan tersebut.
Pancasila mengatur bagaimana hubungan antara manusia
Indonesia dengan berbagai agama dan kepercayaannya itu hidup sejahtera, aman
dan damai dalam menjalankan tugas dan agama serta kepercayaannya masing –
masing. Berarti tidak ada yang salah mengenai upaya yang dilakukan pemerintah
dalam hal mengatur hubungan antara pemerintah denga umat beragama dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Serta pemerintah juga mengatur hubungan
antara umat agama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
lingkunganya masing – masing.
Sesungguhnya apabila pancasila dipahami, dihayati, dan
diamalkan secara jujur dan benar serta konsekuen oleh setiap anggota
masyarakat, utamanya para penyelenggara Negara dan para elit politik dalam
melaksanakan gerakan reformasi untuk mewujudkan Indonesia masa depan yang
dicita-citakan, maka pancasila dapat menjadi perekat dan mengarahkan kekuatan
kemajemukan bangsa untuk mencapai tujuan yang besar dan mulia berupa tegaknya
kedaulatan Negara untuk kepentingan seluruh bangsa
Indonesia. Disamping itu secara filosofis Pancasila dapat
dikembangkan menjadi sitem moral universal, yang dipayungi oleh sila pertama
ketuhanan yang maha esa, sebagai sumber nilai utama dan tertinggi dari sila -
sila yang lain dan kemudian diakhiri dengan sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagai tujuan kemerdekaan.
BAB V
KESIMPULAN
Pancasila
merupakan dasar negara bangsa Indonesia. Dari asal kata Panca dan Sila yaitu
lima dasar atau lima prinsip. Pada kelima sila pada pancasila membentuk suatu
kesatuan. Sila 1 adalah ketuhanan dlm menjalankan syariat-syariat islam bagi
pemeluknya yang kemudian diubah menjadi lebih singkat yaitu ketuhanan yang Maha
Esa. Makna dari sila 1 adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan selaku
pencipta semesta dan segala isisnya. Penerapan sila 1 dalam pancasila
ditunjukkan dalam pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1
dan 2. Arti dan makna lain yang terkandung dalam sila 1 bukan hanya dari 1
agama saja, yang dimaksud adalh kristalisasi dari masyarakat setiao kepercayaan
dari setiap agama. Karena setiap agama mengimani Tuhannya masing-masing menurut
agama yang dianut. Pentingnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, demokrasi dan keadilan sosial
dalam kelima sila dalam pancasila dikemukakan oleh anggota BPUPKI dan Soekarno
dalam sidang BPUPKI. Ketuhanan menjadi prinsip yang diusulkan
oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragama khususnya golongan agama.
Namun, sila 1 mengandung sejarah
perdebatan, Golongan islam menawarkan konsep ketuhanan yangv lebih konkret dan
spesifik yaitu kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Meski
terjadi perdebatan, akhirnya terpilih
redaksional “Ketuhanan yang Maha Esa” untuk menjaga persatuan bangsa sebagai
sila 1.
Intelektual indonesia, Emma Ainun Najdjib
mengutarakan pandangannya antara Kebangsaan dan dan agama yaitu “serius berpancasila
dituduh kafir, sungguh-sungguh beragama dituduh Makar. Memang banyak perdebatan
tentang makna pancasila yang sebenarnya,
Albert Einstein juga mengatakan “Agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu
tanpa ilmu adalah buta” jadi agama sangatlah penting dalam pengaruh kehidupan
dan merupakan pandangan hidup bangsa. Nilai kecintaan pada pancasila, agama dan
ilmu pengetahuan haruslah seimbang dan menjadi suatu kesatuan. Karena tanpa
salah satu nilai tersebut Tidak akan berjalan mulus dalam menjalani kehidupan.
Berbagai macam dapat dilakukan dalam menerapkan nilai-nilai pancasila , salah
satu penerapannya adalah melalui berbagai kegiatan sosial yang bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat. Contoh komuniatas yang telah menerapkan beberapa
nilai-nilai pancasila yaitu komunitas Gubuk Tulis yang didirikan pada 4
Februari 2016 oleh sekelompok pemuda Gusdurian yang merupakan mahasiswa sekitar
kota Malang maupun aktivis sosial. Komunitas yang sudah berdiri hampir 1,5
tahun ini merupakan komunitas yang cukup berpengaruh di kota Malang. Gubuk
Tulis itu sendiri berasal dari kata Gubuk yang artinya tempat perlindungan dan
Tulis yaitu media penyalur ide, sehingga dapat disimpulkan bahwa gubuk tulis
merupakan tempat para penyalur ide dalam pembuatan karya. Karya yang dihasilkan
yaitu koran harian dan artikel redaksi kompasiana. Tempatnya berkonsep seperti
cafe, sehingga para anggota bisa merasa
nyaman dalam menyalurkan ide-ide. Komunitas ini rutin melakukan diskusi dalam
kegiatannya, diskusi yang diusung adalah filsafat keagamaan dan isu gender.
Dalam bahasannya, filsafat keagamaan adalah filsafat islam dan katholik,
sedangkan isu gender membahas nikah siri di Indonesia. Kegiatan lain yang
dilakukan adalah diskusi bahasa inggris yang dipandu oleh Miss Charlote,
kegiatan ini bertujuan untuk melatih para anggota komunitas dalam menggunakan
bahasa asing. Komunitas ini juga aktif dalam kegiatan perpustakaan keliling
yang bukunya didapat dari sumbangan Sekolah Budha Batu dan masih banyak
kegiatan positif yang dilakukan komunitas tersebut.
Ajaran pancasila percaya kepada Tuhan
sesuai dengan agama dan kepercayaan dan mengatur hubungan manusia dengan agama
adalah hidup sejahtera, aman dan damai. Yang dimaksud dari hubungan tersebut
adalah dalam hidup kita bisa sejahtera dan damai dalam toleransi sesama umat
manusia tanpa membedakan agama satu dengan yang lain. Jika Pancasila diamalkan dengan
baik dan benar dapat menjadi perekat dan mengarahkan kekuatan bangsa untuk
mencapai tujuan yang besar dan mulia berupa tegaknya kedaulatan negara untuk
kepentingan bangsa Indonesia serta menjamin tumbuh suburnya kehidupan beragama
antar umat manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar